Aku Menyebutnya, “Menyedihkan.”

Harlow.
3 min read8 hours ago

--

https://pin.it/74gOakN41

Biasanya aku tidak melihat masa depan, atau kadang-kadang aku berpikir bahwa sebenarnya aku sangat ingin melihatnya.

Sesekali aku kesal diam di atas kendaraan sambil membayangkan seperti apa kehidupanku di masa depan; apakah aku akan menikahi lelaki yang paling kucinta? Atau aku akan tergila-gila dengan berkas-berkas kantoran hingga meninggalkan piring-piring kotor di dalam wastafel? Kadang-kadang, aku berpikir bahwa masa depan akan jauh lebih menyedihkan daripada kecelakaan yang menyebabkanku membayar ganti rugi. Kadang-kadang masa depan di belakang bola mataku hanya sebatas: mungkin sebenarnya aku bisa terbang atau bernapas di dalam air, mungkin aku sebenarnya adalah manusia utusan.

Sejauh yang aku bisa ingat, aku selalu bermimpi menjadi seorang kaya raya yang dihantui proyek-proyek picisan, kemudian berkeliling dunia bersama keluarga, dan membeli sebuah kapal pesiar — sebagian adalah kebohongan, sebab kekayaan bagiku adalah kesempatan di mana aku bisa membaca buku-buku mahal di dalam perpustakaan pribadi di rumahku sendiri.

Jika menengok ke belakang, nyatanya aku lebih sering ingin mati daripada menjadi seorang kaya raya. Beragam bentuk kematian adalah hal yang selalu kubayangkan. Apakah aku akan mati gantung diri, atau aku akan terjatuh dari atas gedung pencakar langit, atau seseorang akan membunuhku dengan belati. Adegan-adegan seperti itu lah yang setiap hari bersemayam di benakku.

Yang jelas, aku tidak boleh mati tenggelam.

Coba tanyakan padaku, “Mengapa?”

Sebab tenggelam adalah kematian paling menyakitkan. Aku akan seperti mati lebih dari dua puluh kali dan seorang pun tidak menyadarinya sebab tubuhku menjadi berat. Di bawah ombak, tubuhku ditarik masuk ke palung, dan seorang pun tidak menyaksikan kematianku yang perlahan-lahan mencabut jiwaku. Ya, tenggelam itu menyakitkan. Paru-parumu seperti dipenuhi air hingga meledak.

Tapi, aku juga tidak mau mati dengan sayatan di tangan. Sebab, aku ingin jenazahku tetap cantik dan bersih walau jiwaku nyatanya sekotor debu. Aku tidak ingin luka di tanganku mengingatkan semua orang akan berdosanya aku karena membunuh diriku sendiri lalu akan mengirimkan bela sungkawa beserta gunjingan sebab anak mereka mati terbunuh di tangannya sendiri.

Kematian memang menghantuiku, tapi satu pun dari mereka tidak berani mendekatiku.

Mereka berjalan semakin jauh setelah aku perlahan menemukan ombak kehidupanku sendiri. Nyatanya, aku harus hidup untuk mereka yang kutopang di atas pundak. Nyatanya, mereka harus melihat aku dengan toga dan menjadi seorang pekerja yang sukses. Nyatanya, aku hidup bukan untuk diriku saja, tapi untuk mereka. Mereka yang hinggap di punggungku dengan jutaan mimpi terpendam, mimpi yang tak pernah bisa direlakan. Mereka, yang kalian sebut ‘keluarga’.

Lantas, bagaimana dengan hidupku? Pantaskah aku hidup dengan pundak kotor, berat, dan penuh caci maki? Layakkah aku hidup dengan kaki menyeret debu-debu mimpi yang telah koyak? Lalu, bisakah aku menjelma menjadi mimpi-mimpi mereka yang telah koyak?

Aku tidak pernah tahu.

Aku tidak pernah menjadi seonggok jantung yang menghidupi jiwa-jiwa terendam api.

Aku tidak pernah rela menjual jiwaku untuk bahagia semu milik orang-orang yang kalian sebut keluarga.

Aku tidak akan pernah bisa menjelma menjadi gempita yang mereka tinggalkan puluhan tahun lalu.

Lalu, kembali lagi ke asalku: gagal. Aku benar-benar akan gagal, sebab aku akan selalu melarikan diri sejauh yang aku mampu. Aku akan berlari sejauh yang mereka tak akan tempuh, dan aku tak akan kembali lagi.

Lihatlah, masa depanku yang suram dan buram, akan aku rusak dengan betapa cerahnya dunia memihakku suatu saat nanti. Lihatlah, masa depan yang telah merenggut masa mudaku dengan kasar. Lihatlah, masa depan yang kudambakan, hidupku yang kurajut sendirian. Lihatlah, masa depan yang tak lagi menyebut kematian.

Lalu, kulihat ke belakang; jiwa yang sudah jadi hantu. Jiwa yang terbakar api-api kebohongan. Jiwa yang lebur jadi debu. Jiwa yang telah berkorban untuk hidup mereka.

Mereka yang kausebut bintang, bulan, dan alam semesta, sedangkan aku di sini, menyebutnya, “Menyedihkan.”

--

--