Hantu yang Hilang

Harlow.
2 min readJul 26, 2024

--

https://pin.it/5G7Ny9vHf

Aku berdiri di ambang pintu, memandang ibu dari jauh di ujung ajalnya. Hatiku terasa dingin. Ibu terbaring di atas ranjang, kesakitan, tapi aku hanya bisa diam.

Bertahun-tahun lalu, meski menyakitkan, aku sering lupa seperti apa sebenarnya wujud ibu. Apakah manusia harimau kelaparan atau elang betina yang beringas? Sebab di setiap waktu yang kami habiskan, aku seperti hantu.

Kami berdua berkelakar seperti dua hantu yang tak saling mengenal. Baik ibu, maupun aku, hanya diam dan berisik di dalam kepala saja.

Rasanya asing. Berdiri di sini, menatap perempuan yang melahirkanku kesakitan di atas ranjang, dan satu senti pun aku enggan mendekat. Walau lukaku belum hilang, wajah ibu selalu mengingatkanku akan betapa buruknya duniaku hidup berdampingan dengannya.

Di masa-masa sulit, aku hanya ingat kapan terakhir kali ibu menyuruhku makan dengan baik. Beberapa kali hal itu hanya dipakai saat ibu merasa bersalah kepadaku, lalu ia melanjutkan murkanya dengan tidak bijak. Aku ditusuk dengan kata-kata yang membuatku tersiksa lebih lama.

Sekarang ibu sudah akan kembali ke pangkuan malaikat surga. Meskipun berat, aku tetap berdiri di kejauhan. Menatap ibu dari jauh sembari menggenggam tangan kekasihku. Aku bertindak seperti hantu.

“Apa kau tak ingin masuk?” Kekasihku melepas genggaman tangannya dari tanganku. Ia menghela napas panjang. “Selangkah saja kamu tidak ingin,” lanjutnya. Tangannya kembali menggenggam tanganku.

Sudah terbaring lemah pun, orang — orang menerkamku seolah aku adalah biang kerok dari penyakitnya. Mereka semua menyalahkanku tepat saat aku merasa amat iba dan terabaikan.

“Pulang saja.” Ayah muncul dari pintu yang lain. Ia mendekat dan mengusirku. Ayah tahu aku tak akan masuk. “Bawa kekasihmu pulang, biar ayah yang berjaga di sini,” lanjutnya sembari menarik tirai, tubuh ibu tertinggal di balik tirai.

“Ya, Ayah,” jawab kekasihku sembari menarik tanganku pelan.

“Ayah mohon ….” Ayah menatapku, “kembalilah saat hatimu sudah hangat,” ucapnya memohon dengan mata berlinang air mata. “Tolong jaga putriku,” lanjut ayah kepada kekasihku.

Hati yang hangat itu kini hangus terpanggang di perapian dendam. Ibu tidak tampak lagi di mataku. Aku pulang, pergi jauh, dan hatiku tidak pernah jadi hangat. Selalu dingin. Dingin sekali.

“Esok pagi kita ke sini,” kata kekasihku. Aku menggeleng, “Biarkan saja dendam ini tersulut api. Aku sudah kehilangan hidupku karenanya. Kehilangan ibu bukan suatu masalah besar, aku hanya perlu mendoakan dan menguburkannya. Ibu sendiri tidak menginginkan anak seperti diriku, percuma saja kembali. Anak kesayangannya bukan aku, biarkan aku kabur saja,” jawabku tanpa berhenti melangkah dan tidak menatap matanya. Aku hanya ingin pulang.

“Bukankah itu salah?” Kekasihku menggenggam erat jemariku. Aku mengangguk, “Semua yang kulakukan … selalu salah. Di matanya, di mata semua orang.”

Lalu langkah kami tidak berhenti. Kami menjauhi rumah sakit dan hilang diterkam malam. Kami duduk di kendaraan tanpa menengok ke belakang, dan sekali lagi, itu salahku karena tak berdamai dengan masa lalu.

--

--